Sabtu, 01 Oktober 2011

Media dan Budaya Massa

Pembicara: Aminah Suwarna Wati

Media massa adalah alat-alat dalam komunikasi yang bisa menyebarkan pesan secara serempak dan cepat kepada audience yang luas dan heterogen. Kelebihan media massa dibanding dengan jenis komunikasi lain adalah ia bisa mengatasi hambatan ruang dan waktu. Bahkan media massa mampu menyebarkan pesan hampir seketika pada waktu yang tak terbatas.
Media massa dapat memengaruhi khalayak melalui pesan-pesan yang disebarluaskannya. Media massa sangat efektif dalam mengubah sikap, pendapat dan perilaku komunikasi masyarakat.  Media massa dapat mempengaruhi khalayak dalam jangka pendek dan jangka panjang. Pengaruh jangka pendek mungkin tidak terlalu dipermasalahkan, namun pengaruh jangka panjang sering dipersoalkan, karena mempunyai kekuatan tertentu yang dapat memengaruhi kebudayaan khalayak yang menerima pesan.
Media massa yang secara terus-menerus menyampaikan informasi kepada khalayaknya lama kelamaan akan membentuk budaya massa. Budaya massa adalah budaya populer yang dihasilkan industri produksi massa dan dipasarkan untuk mendapatkan keuntungan pada khalayak konsumen.
Budaya massa atau budaya populer memiliki karakteristik tertentu, antara lain memiliki rumusan, berulang, bersifat permukaan, mengagungkan kenikmatan, sentimental, sesaat dan menyesatkan dengan mengorbankan nilai-nilai keseriusan, intelektualitas, dan penghargaan atas waktu. Jadi budaya massa seringkali dianggap sebagai suatu kebudayaan yang kurang memiliki tantangan dan rangsangan intelektual, lebih cenderung pada pengembangan fantasi tanpa beban dan pelarian.
Fishwick dan Wilson mengakui bahwa budaya populer sebenarnya dapat diartikan sebagai bentuk budaya yang dimiliki oleh setiap orang dalam suatu masyarakat tertentu. Budaya tersebut dipengaruhi berbagai rangsangan dari luar (termasuk media massa) yang tidak kita sadari namun membuat kita melakukannya.
Budaya massa dapat muncul dalam bentuk mengikuti selera masyarakat secara beramai-ramai, memilih jenis produk seperti shampoo Pantene, sabun mandi Lux, pelembab Ponds, makan di pizza Hut, minum kopi di Starbuck, mendengarkan musik pop/dangdut, menggunting rambut ala Demi Moore, menjagokan Argentina pada perebutan piala dunia dan sebagainya.
Budaya massa senang menciptakan dan memenuhi impian-impian yang diinginkan masyarakat. Budaya massa berusaha memenuhi kebutuhan massa akan hiburan, bukan estetika, kedalaman atau kontemplasi. Akibatnya orang cenderung menyukai yang ringan-ringan, tidak begitu suka pada yang serius atau berat-berat. Pada akhirnya hal tersebut menimbulkan penggolongan “BUDAYA TINGGI” dan “BUDAYA RENDAH”.
Media massa berperan sangat penting dalam menyebarluaskan dan menyiarkan budaya massa. Oleh karena itu media massa harus memilah dan menyajikan tontonan yang mendidik serta menciptakan budaya massa yang berdampak positif bagi masyarakat. Hal ini selaras dengan yang diungkapkan Ghanney dan McQuail bahwa peranan media massa dalam kaitannya dengan budaya massa adalah mengendalikan dan mengarahkan perilaku khalayak konsumen.

Sabtu, 24 September 2011

Anatomi Media Penyiaran

Pembicara : Paulus Widiyanto



Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spectrum frekuensi radio melalui udara, kabel, atau media lainnya untuk dapat diterima secra serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.
Penyiaran tidak bisa dilepaskan dari unsur komunikasi massa dalam masyarakat. Penyiaran mampu membentuk suatu opini public bahkan mengarahkan kepada public ke suatu nilai tertentu untuk bisa berpihak kepada nilai tersebut. penyiaran mampu membuat suatu movement society yang cukup berpengaruh.
Ketika kita membicarakan masalah media penyiaran public, sebenarnya tidak bisa melepaskan pembicaraan tentang lembaga yang ada di dalamnya. Di Indonesia, salah satu lembaga yang ampuh dalam masalah media penyiaran publik adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). 
Bapak Paulus Widiyanto, selaku mantan Ketua Pansus 1999 dan penggagas UU Penyiaran menjelaskan tentang 10 sudut pandang/anatomi penyiaran, antara lain:
1. Lembaga/Institusi: sebuah media penyiaran pasti dimiliki oleh suatu lembaga/institusi resmi (PT, Yayasan, Group, perusahaan, dan lain-lain).
2. Perizinan: dalam melakukan penyiaran harus mendapat izin yang legal secara hukum.
3. Kepemilikan: media penyiaran dimiliki oleh seseorang, beberapa orang atau badan hukum yang sah.
4. Isi/content: isi yang disiarkan bisa berbeda-beda, mulai dari news, sport, comedy, dan lain-lain, tergantung dari masing-masing media penyiaran.
5. Infrastruktur: untuk mendukung media penyiaran diperlukan pula sarana-sarana seperti antenna, satelit, pemancar, gelombang, dan kabel.
6. Organisasi Bisnis/Usaha: media penyiaran bisa memperoleh penghasilan dari iklan, langganan, dan saham.
7. SDM/Profesi: orang-orang yang bekerja di dalam media penyiaran itu sendiri, seperti redaktur, wartawan, reporter, cameramen, editor, dan lainnya.
8. Pasar/Market Area: media penyiaran harus menentukan target pasar yang diinginkan, mulai dari lokal, nasional, trans nasional ataupun global.
9. Audiences: media penyiaran memiliki segmentasi penonton, segmentasi tersebut ditentukan berdasarkan jenis kelamin dan usia.
10. Regulator: pengatur penyiaran di Indonesia, misalnya saja KPI (Komisi Penyiaran Indonesia), pemerintah, dan KPPU (Komisi Pengawasan PErdagangan Usaha).
Undang-undang yang mengatur media/penyiaran antara lain:
- UU no. 36 tahun 1999
- UU no. 40 tahun 1999
- UU no. 32 tahun 2002
- UU no. 11 tahun 2008
Tujuan dibuat regulasi penyiaran dan UU tersebut adalah agar:
- Tidak terjadi bentrokan infrastruktur diantara media penyiaran yang ada.
- Masyarakat mendapat kenyamanan dan layanan prima.
- Media penyiaran tidak menyinggung unsur-unsur SARA/pornografi dalam penyiarannya.
- Tidak terjadi monopoli dalam kepemilikan media (jangan sampai isi penyiaran hanya disesuaikan dengan selera dan keinginan si pemilik media). 

Selasa, 20 September 2011

Citizen Journalism / Jurnalisme Warga

Pembicara : Agus Sudibyo (Dewan Pers)


Apa itu jurnalisme warga? Mungkin akhir-akhir ini istilah tersebut sudah tidak asing lagi di telinga kita. Jurnalisme warga adalah kegiatan partisipasi aktif yang dilakukan masyarakat dalam kegiatan pengumpulan, pelaporan, analisis, serta penyampaian informasi dan berita. Jadi warga tidak lagi hanya menjadi penonton melainkan menjadi peserta aktif dalam diskusi dan problem solving di ruang publik media.

Model pewartaan seperti ini semakin berkembang di Indonesia dan mendapat sambutan baik dari masyarakat. Hal tersebut antara lain disebabkan karena kemajuan internet yang pesat, seperti adanya jaringan sosial facebook, twitter, chatroom, youtube, dan banyak lainnya. Dengan adanya fasilitas seperti itu warga dapat menyalurkan apa pendapat dan aspirasi mereka. Selain itu kemajuan teknologi juga membuat jurnalisme warga semakin mudah dilakukan. Dengan modal handphone berkamera dan bisa merekam, mereka bisa membuat suatu berita.
Salah satu  bentuk dukungan untuk jurnalisme warga yang dilakukan oleh surat kabar Republika

Kenapa jurnalisme warga ini bisa begitu berkembang? Hal tersebut disebabkan karena adanya paradoks komunikasi massa, dimana komunikasi massa seharusnya melibatkan semua orang untuk dapat menjadi komunikator. Namun faktanya, beberapa media massa seperti TV dan media cetak hanya melakukan komunikasi satu arah, masyarakat hanya menjadi penonton pasif yang tidak dapat memberikan respon. Selain itu media mengatur agenda setting sesuai dengan keinginannya, padahal seharusnya ia mengatur sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hal itulah yang akhirnya menyebabkan jurnalisme warga semakin berkembang, dimana warga ingin menyampaikan suatu peristiwa seakurat dan selengkap mungkin, tanpa dibatasi oleh media.

Selain memiliki banyak sisi positif, jurnalisme warga juga memiliki sisi negatif. Dengan berkembangnya jurnalisme warga di Indonesia membuat berita semakin mudah dan cepat disebarkan ke masyarakat luas. Yang menjadi masalah apakah berita-berita tersebut sudah memenuhi kode etik jurnalistik dan nilai-nilai berita? Faktanya adalah seringkali pelaku jurnalisme warga belum menguasai nilai-nilai berita, etika jurnalistik dan prinsip ruang publik media. Kasus lain yang seringkali terjadi dalam jurnalisme warga ini adalah mayoritas pemberitaan hanya satu sisi, tidak berimbang, dan tidak ada konfirmasi serta cenderung menghakimi objek berita. Selain itu media online menggunakan prinsip follow up news, dimana konfirmasi narasumber dapat ditunda pada berita selanjutnya, karena mereka mementingkan kecepatan berita.

Oleh karena itu ada baiknya apabila pelaku jurnalisme warga memahami bahwa:
Ø  Media adalah ruang publik sosial dengan nilai-nilai baku (nilai berita dan kode etik jurnalistik).
Ø  Profesi jurnalis bukan profesi sembarangan yang dapat dilakukan secara serampangan.
Ø  Berita berbeda dengan informasi satu sisi, gosip, atau prasangka.

Dengan memahami hal-hal tersebut tentu kedepannya akan tercipta jurnalisme warga yang handal, memahami nilai-nilai berita serta sesuai dengan kode etik jurnalistik. Mari kita kembangkan jurnalisme warga!

Sabtu, 10 September 2011

Persepsi tentang Perempuan dalam Media

Pada pertemuan pertama mata kuliah Kapita Selekta (7 September 2011), kami diajar oleh Dekan Fakultas Psikologi, Ibu Henny Wirawan. Pada kesempatan itu, kami diajak oleh Ibu Henny untuk membentuk kelompok dan mendiskusikan mengenai “Persepsi tentang Perempuan dalam Media”. Kami membahas hal positif maupun negatif yang dibentuk media mengenai perempuan.
Dari hasil diskusi yang kami lakukan, kami mendapat beberapa kesimpulan mengenai dampak positif dan negatif dari pembentukan media tersebut. Hal positif yang dibentuk media mengenai perempuan antara lain:
  • Perempuan dilihat sebagai sosok yang lebih mandiri dan bisa menjadi pemimpin. Jika dulunya perempuan hanya dilihat sebagai sosok yang lemah, namun sekarang mereka bisa melakukan sesuatu secara independen dan bisa memimpin.
  • Perempuan digambarkan lebih educated, sukses, dan sebagai wanita karir. Media menggambarkan perempuan bukan lagi hanya sebagai ibu rumah tangga, namun bisa juga bekerja di kantoran dan menghasilkan uang seperti para lelaki.
  • Perempuan digambarkan lebih aktif dalam dunia sosial politik. Hal itu dapat dilihat dari kursi MPR dan DPR yang banyak diduduki oleh seorang perempuan. Bahkan, Indonesia pernah memiliki presiden perempuan.
  • Perempuan digambarkan sebagai sosok yang memiliki 3B (beauty, behavior, brain). Hal itu tampak dari acara-acara miss pageant yang seringkali diadakan.
  • Perempuan digambarkan sebagai sosok yang halus, feminim, lembut dan keibuan. Hal itu tampak dari berbagai jenis acara televisi dan iklan yang ditayangkan.
  • Perempuan digambarkan sebagai sosok yang berani mengungkapkan pendapat tentang kehidpan seks/kehidupan pribadinya. Perempuan bisa dengan lugas dan jelas menanyakan tentang hal-hal seksual.
  • Perempuan digambarkan lebih komunikatif dan bisa menjadi motivator bagi orang lain.

Namun selain hal-hal positif yang dibentuk media mengenai perempuan, ada pula hal-hal negatif yang diciptakan media mengenai perempuan, diantaranya adalah:
  • Media seringkali mengekspos sensualitas dari perempuan dengan tujuan menarik lawan jenis. Hal tersebut dapat dilihat dari film, tayangan, iklan, dan tampilan media yang memajang seorang wanita cantik dan seksi.
  • Media menyebabkan bias gender/diskriminasi dalam pemberitaan kekerasan seksual. Secara tidak langsung media telah menciptakan image wanita yang lemah, tidak berdaya, tidak bisa berbuat apa-apa, harus dilindungi lelaki, dan lain-lain. Misalnya saja pemberitaan mengenai wanita yang dirampok karena keluar malam, masyarakat kebanyakan mungkin akan langung menuding dan menyalahkan wanita itu, kenapa dia keluar malam. Atau kenapa dia keluar malam tidak ditemani seorang lelaki. Otak masyarakat sudah “disetel” dengan pandangan-pandangan dan steorotip semacam itu.
  • Media memanfaatkan perempuan sebagai objek dalam iklan dan sebagai pemanis.
  • Pemberitaan media yang seringkali berlebihan mengenai penghasilan wanita yang lebih besar dari lelaki terkadang bisa membuat para lelaki merasa diremehkan sehingga menimbulkan pertengkaran, bahkan sampai ada pula terjadi pembunuhan.
  • Perempuan digambarkan sebagai sosok yang belum bebas (masih dibatasi aktivitasnya) dan sebagai sosok yang belum bisa mengambil keputusan-keputusan penting.
  • Perempuan digambarkan hedonisme dan konsumerisme.
  • Perempuan digambarkan sebagai sosok yang tidak bisa diberi kebebasan. Media membentuk pandangan bahwa kebebasan yang diberikan kepada perempuan seringkali disalahgunakan. Misalnya saja kenapa perempuan suka pulang malam, suka memakai pakaian yang terlalu seksi dan ketat, suka memakai perhiasan berlebihan, dan banyak lainnya.

Kita sebagai generasi penerus komunikasi bangsa harus segera memperbaiki hal-hal negatif tersebut dan mempertahankan hal-hal positif yang sudah tercipta. Usaha-usaha yang bisa kita lakukan antara lain:
  • Mengurangi tayangan/iklan/berita yang terlalu mengekspos sensualitas perempuan.
  • Menyeimbangkan derajat antara laki-laki dan perempuan, tidak ada yang berbeda diantara makhluk Tuhan tersebut. Mereka sama-sama mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
  • Jangan terlalu mudah menjudge dan menciptakan image seorang perempuan yang buruk.
  • Berpikiran terbuka dan menerima segala masukan serta pendapat dari orang lain.
  • Bersikap kritis terhadap pemberitaan media dan berusaha menyajikan berita dengan objektif.
  • Tidak memandang rendah perempuan.

Semoga kelak media cetak maupun elektronik mampu menyajikan berita, tayangan dan iklan yang berimbang, serta memberikan citra yang positif bagi kaum perempuan.